Jumat, 17 Juli 2009

POHON KAMPUS

Aku di tengah kesunyian ini bersama dengan semak belukar kampus yang biasa disebut mereka dengan sebutan pohon. Aku menari dalam kesederhanaan angin musim hujan yang dingin dan membelit seluruh emosiku di dalam keharuan semesta yang dalam. Perdu yang bersuara ditiup angin dingin seperti sebuah cerita tentang tatanan sosial kampus ini yang terkenal dengan sebutan KAMPUS ATAS ANGIN. Aku tidak bercanda dengan semua ini, bahkan semut yang sering merayap ketika perkuliahan dimulai pun akan bersaksi mendukung ku.Pohon kampus selalu menaungi kendaraan yang kugunakan setiap pagi berangkat kesini dari rumah yang pengap dan terselubung di bawah permukaan tanah. Dinginnya Desember membawakan guratan-guratan cerita usang masa silam tentang kejayaan masa mudaku sebelum akhirnya direnggut obat-obatan penenang orang gila. Aku bangga sekarang duduk di tengah nyanyian semarak, guntur dan gerimis Desember. Samar di udara terdengar bunyi halus yang menyentuh telinga jiwaku dan menyapa dengan samar ” Selamat datang mujahid muda yang tak bersenjata”.Aku terkejut sekilas. Dengan kebisuan suasana disini, suara itu menyindir cita-citaku dengan lantang dan membuatku malu untuk mengakuinya. Pohon kampus seketika beranjak dari ketegarannya menjadi bergoyang-goyang diterpa alunan udara yang beku dan membisikkan sindiran lain dengan mengatakan ”Akankah malu orang-orang yang akan menyuarakan perubahan terhadap pemahaman zaman ini mengenai keindahan bisu dan kekuatan diam yang menggetarkan?”.”Kalian salah...” jawabku”Aku hanyalah orang muda dengan impian yang terombang-ambing oleh kebutuhan akan pembuktian kejantanan dan predikatku sebagai lelaki yang menyebabkan pertautanku dengan dunia semakin kuat sementara inspirasi perjuanganku melambung dibawa gagak hitam penghuni belantara jiwa”. Memang tak dapat kuingkari bahwa kebutuhanku atas pengakuan masih sama besar dengan ketakutanku akan kecemburuan Pemilik dari semua yang kita kira nyata ini.Pohon-pohon kampus hanya menggerutu dengan sanggahanku yang mengalir di sela-sela gerimis yang membuat bukit-bukit disini tepekur. Aku mengerti duka mereka akan penindasan yang mereka saksikan dalam tahun-tahun awal gedung-gedung megah ini berdiri. Aku memahami kekecewaan mereka sebab jeritan lantang nurani bangsa pohon yang teracuhkan oleh mereka yang lalu lalang dengan menggerutu tentang kebijakan-kebijakan yang tidak biajaksana.”Kawan, bukankah disini kerajaan akal yang selalu diagungkan oleh mereka yang berasal dari negeri-negeri yang jauh yang akhirnya pulang membawa gelar-gelar kehormatan?” kataku dengan penuh kekhusuan. ”Bukankah penindasan itu adalah bahasa yang kejam dan salah kaprah ketika kita menyebut upaya-upaya orang-orang terhormat disini untuk meluruskan kebengkokan para penduduk sementara yang egois membawa budaya dan kelakuannya sendiri?”. ”Bukankah keseragaman gerak, langkah, perilaku dan pola pikir merupakan tujuan akhir dari setiap pencari kebenaran?”.Hujan semakin lebat mendengar kata-kataku yang meluncur laksana peselancar menunggangi ombak malam. Sepintas aku merasa inilah setidaknya kebenaran yang kupegang teguh hingga aku mampu bertahan disini dengan segala kemampuan yang ada pada tangan dan kakiku. Setidaknya aku termasuk orang-orang yang tidak berleha-leha menghabiskan masa muda dalam candu lagi. Namun tiba-tiba protes pohon-pohon kampus menyerangku dengan bertubi-tubi dan membuatku tergagap dalam kesendirian eksistensiku.”Pantaskah orang yang memanggul gelar kehormatan sebagai penjaga akal mengebiri kebebasan berpikir dan setiap eksperimen dalam rangka pencarian sesuatu yang memudahkan kehidupan mereka sendiri sebagai penuntut pengetahuan abadi yang bersih?”.”Wajarkah ketika setiap hari para pencari selalu ditempeli dengan cap : DICURIGAI yang tertempel pada dahi-dahi mereka, baik tatkala mereka sendiri maupun dalam kelompok?””Lazimkah jika setiap bantahan dari mereka yang mencari kendaraan ruhaninya diterjemahkan sebagai pembangkangan yang bersumber dari apatisme yang menghambat kemajuan?””Apakah eksperimen dan ide-ide luhur hanya dimiliki oleh mereka yang telah menyumbat telinganya sendiri dengan predikat Master, Ahli, Berpengalaman Dengan Para Pendatang Dari Negeri Jauh, atau bahkan predikat : Konsultan saja?””Apakah penawaran dari para kurcaci belantara akal ini hanya diartikan sebagai pemberontakan bahkan respon pertama dari kemalasan dan penggemar plagiat belaka, sedangkan yang mereka mau hanya kemudahan menuangkan ide dan pikiran kreatif mereka kedalam bejana kebudayaan yang sudah lama tidak membanggakan ini?””Boleh-boleh saja para Tuhan Pengetahuan memproklamirkan bahwa aturan yang telah mereka buat dalam perjalanan menuju pijar cahaya Matahari Timur nun pusaka tak terjamah oleh kritikan, protes, penawaran, bujukan bahkan godaan para penjilat. Namun harus diingat bahwa papan sejarah juga mencatat bahwa Guru Besar Zaman dulunya adalah Penyanggah yang hidup dan menggeliat sebagai pemberontak terhadap zamannya yang usang dan melelahkan.””Tidakkah dibuatkan pesawat yang mengendarai udara, kereta api yang meluncur bersama udara siang-malam, kapal yang berlayar dikejar oleh udara panas dan mobil-mobil yang mengotori udara bumi, melainkan untuk kemudahan belaka? Lantas mengapa proses menjadi Panglima Akal ini harus diarahkan ke rimba gelap yang penuh kesukaran dan merangsang kefrustasian pelakunya serta menafikan kemajuan yang telah dicapai abad ini padahal itu bisa dipermudah dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia untuk, sekali lagi : MENCARI KEMUDAHAN HIDUP SEBAGAI MAKHLUK YANG BERKREASI ?””Betapakah alaminya pemberontak kecil itu yang kemana-mana membawa vonis yang diacungkan kepadanya oleh jari jemari licik yang mudah tersinggung ketika status quo-nya terganggu? Betapakah bahagianya mereka ketika segala kemudahan hidup itu mereka nikmati dalam perjuangan menjadi Raja-Raja Pengetahuan yang baru? Betapa kreatifnya mereka sebab pencapaian yang mereka duduki sekarang adalah bukti atas hidup dan bergejolaknya kualitas dari eksistensi mereka sebagai manusia? Betapakah akan bangganya ruhani para pejuang terhadap mereka yang tak pernah puas dan berdiam diri menerima segala kesukaran yang dipasangkan sebagai jebakan dengan dalih perjuangan ini?”Aku terdiam oleh ucapan mereka yang membara penuh dengan semangat kemudaan yang purba. Hati kecilku menerima desakan mereka untuk diiyakan dan diterima sebagai hasil olahan akal budi mereka. ”Tapi, bukankah seorang tentara mesti terus berkubang lumpur dan kelelahan dalam latihannya bahkan dalam masa damai sekalipun agar tidak kehilangan keperkasaannya?” sanggahku, meminta ketegasan pendirian mereka.”Protes yang mereka sampaikan itulah bukti bahwa mereka telah berkarat dalam lumpur medan latihan. Mereka berusaha membuktikan bahwa mereka mampu menembakkan mesiu-mesiu penggebrak ke-zumud-an para Penghulu Ilmu Pengetahuan.””Tantangan yang sejati dan mengasah itu berasal dari realitas kehidupan mereka sebagai pengembara, bukannya diciptakan untuk melemahkan mereka. Dan rintihan terhadap derita itu bukan cengeng melainkan reaksi jiwa yang hidup dan merindukan kemerdekaannya”.”Benar ....” kata hatiku. Dan akupun setuju bahwa kemampuan mereka membuat produk-produk akal dalam menjawab tantangan dari realitas kehidupan mereka sebagai pekerja sekaligus pejuang harus mendapatkan penghargaan yang pasti dan salut. Bukannya malah memaksakan aturan yang notabene tak pernah mampu diwujudkan dalam dunia realitas, baik oleh mereka yang menyerukannya mapun mereka yang diseru sebab, lagi-lagi tidak mengandung unsur ”kemudahan dan keefektifan” sedikitpun. Selalu saja kita terjebak bahwa dunia kependidikan yang kaya dengan ideologi harus diasingkan dari dunia realitas yang penuh dengan kebutuhan akan kemudahan sehingga ketika konsep-konsep itu matang dibuat di kawah kampus yang membara, tetap saja itu merupakan benda asing yang, lagi-lagi : ”Menambah kesukaran semata-mata” terhadap para pekerja.Aku berdiam di tengah basah yang mengepung kaki dan pakaianku yang berbau keringat. Aku letih dan terpaksa membenarkan suara ghaib yang menyodok kebekuan akalku dengan lantang dan penuh tenaga, aku menerima bahwa yang mereka persaksikan dalam waktu yang berlalu merupakan pemandangan yang menyedihkan.Angin tetap saja dengan tegasnya mendendangkan kebekuan yang membelai sukmaku. Kenaifan dari suasana ini membuat tubuh ku gemetar. Keperkasaan dan kehebatanku hilang diterpa nyanyian alam yang syahdu namun berani menyuarakan kebenaran ini. Aku mengaku takluk terhadap pembelaan mereka pada para mujahid yang dengan sungguh-sungguh berusaha memakmurkan dunia jiwa mereka dengan kepuasan hidup dan kemudahan dalam melakukan kegiatan keseharian mereka. Aku malu terhadap mereka yang rela menderita menanggung acungan telunjuk para pencinta status quo dan terfitnah oleh pandangan mata yang jahat. Begitu hebat dan perkasanya mereka sebagai makhluk berakal dan berkeberanian. Sementara aku yang menyukai sebutan pejuang ini, secuilpun tak pernah memiliki keberanian untuk menentang dan menyampaikan apa yang menjadi kebutuhanku. Aku tak berani menjerit ketika mata pedang para serdadu akal itu menggores punggungku tanpa mereka menyadarinya. Aku takut berteriak ketika debu dari hentakan kaki kuda tunggangan mereka mendera mataku dan membuatku tak bisa bernapas. Aku terpaku saja ketika pena-pena pemberontak tinggal patahan-patahan tak bertuan. Dalam kebisuan, pohon-pohon kampus menyampaikan nyanyian kepiluannya seiring matahari yang berlalu pergi meninggalkan jelaganya pada malam yang akan segera memberikan salam. Aku mengerti sekarang kenapa pahlawan negeri ini begitu lekas mati. Begitu cepat tertangkap. Tokoh-tokoh besar yang diagungkan di negeri ini lebih banyak adalah mereka yang berjibaku di penjara atau rumah sakit ketimbang mereka yang mati tertembak di medan laga, karena memang telah menjadi ketetapan budaya bahwa masyarakat ini lebih memihak pada kejadian-kejadian mengesankan yang terpapar di mata mereka yang rapuh. Mereka lebih memilih taat pada aturan penjajah yang tak memiliki nurani dan mencintai kerja-paksa dan sepertinya malah mengharamkan setiap upaya yang mengarah pada kemudahan hidup dan kemudahan dalam mengatur kehidupan secara merdeka. Aku mengerti sekarang kenapa bangsa ini sekarang dipuji dunia usang seberang laut. Mengapa bangsa ini mengagumkan bagi mereka yang durjana. Ya....., karena kami selalu mengekor pada buntut mereka yang melambai. Berkiblat pada tatanan mereka yang rapuh dan mudah goyah. Karena kebanyakan kami disini takut memperjuangkan kemudahan yang mereka sendiri sangat menginginkannya. ADUH.... KASIAN DEH AKU.

Tidak ada komentar: