Jumat, 17 Juli 2009

RUMPI KALA HUJAN

Hujan selalu punya cerita banyak. Entah itu hujan gerimis, hujan lebat, hujan badai, hujan waktu pagi, hujan waktu siang bahkan hujan waktu malam hari seperti sekarang. Waktu ditunjukkan pada pukul 01.35 WJT (Waktu Jam Tangan, dan dapat dipertanggung-gugatkan).
Beranda rumah basah oleh air hujan yang tak bisa mengalir sebab selokan depan yang buntu. Aku duduk merenung memandang hujan membasahi tanaman yang beberapa minggu terakhir ini sedikit kuabaikan perawatannya sebab aku merawat di tempat lain. Merawat hati-hati yang terluka oleh perlakuan anak zaman ini yang serakah dengan kerakusannya sendiri.
Oh iya.... untuk memperkuat makna akan kuceritakan sedikit background nya kejadian ini. Ada musik live dari adikku yang nomer-3 yang lagi belajar main gitar, menyanyikan lagu-lagunya westlife yang terbaru. Derajat pencahayaan baik dengan adanya penerangan lampu neon 40 watt yang menerangi ruang pertemuan, merangkap ruang perjamuan, merangkap ruangan perenungan sekaligus meditasiku, merangkap ruang ibadah shalat berjamaah bareng seluruh keluarga dan tak ketinggalan fungsinya sebagai ruang hiburan bareng teman-teman. Samar-samar terdengar dialog tokoh-tokoh nasional di TVRI membicarakan tentang pansus bulog-gate, seperti guide-guide politik yang serba tahu semua hal.
Sedangkan aku nih...... ceritanya sedang asyik meditasi dan mengembarakan pikiran dengan ditemani secangkir teh hangat buatan sendiri, sepiring kue buatan ibu dan seekor kucing belang putih kuning setengah baya dengan dandanan dekil (meskipun kalau nggak dimandiin belum tentu nggak dekil), tengah asyik dalam lamunan masing-masing.
Tiba-tiba ditengah keheningan itu, aku mendengar suara lirih... “Hujan memang selalu punya banyak cerita......”.
Aku menoleh seakan tidak percaya oleh pendengaranku dan berkata “Eh,... kucing koq bisa bicara....?”
“Begitulah Bro…., semenjak 2 minggu terakhir aku jadi suka bicara. Mungkin terbawa suasana kali ya?” jawab si Kucing.
“Emang suasana apaan..?”
“Itu...sejak kran demokrasi dan kebebasan bicara di negeri ini dibuka, sekarang banyak yang senang bicara. Nggak kucing, nggak manusia, kalau sudah bicara sampai lupa diri. Contohnya aku, sudah lupa bilang : MEEEEOOOONNNGGG. Keasyikan bicara sih”. Kucing berlagak genit.
“Ah, kamu ini seperti politikus cap kucing kurap saja”, sungutku.
“Hei bung, aku memang kucing. Tapi kutegaskan bahwa aku tidak kurapan. Anda kali yang panuan?” Kucing menjawab ketus dengan nada nggak sopan sama sekali.
H e n i n g.................................................!
“Tapi benar juga apa yang kamu katakan, Cing.” Aku menghibur untuk perdamaian. “Hujan memang selalu punya cerita. Seperti tertulis di alinea pertama kisah ini”.
“Ah, kamu Cuma pengen menghibur” si Kucing melengos sambil menekuk buntutnya menyerupai pancing.
“Betul deh Cing. Saat seperti ini aku jadi teringat sama pemuda yang pernah kucintai dulu. Aku jatuh cinta saat liat dia kehujanan. Dia PDKT juga pake acara hujan segala. Dia mengutarakan isi hatinya yang putus asa karena dia pun masih mencintai wanita lain,…. juga saat hujan dengan petir yang menggelegar. Kutolak dia lantaran aku tersinggung, eh... dianya malah main hujan-hujanan. Kemudian kami berpisah selama 5 kali musim hujan....” ceritaku panjang lebar.
“Waaah seru juga kisah cintamu. Ternyata kita punya kenangan yang sama terhadap hujan. Hanya saja kisah cintaku agak tragis dan lebih norak lagi ketimbang kamu.” Kata Kucing sambil menerawang.
“Pacarku boleh dibilang sEdEng, sebab kalo lagi kangen ributnya minta maaf...eh...minta ampun, kayak lagi liat donat di pinggir meja. Pernah sekali waktu pas musim kawin dia berteriak memanggil-manggilku dari balkon rumahnya si Tuti anak Ketua RT. Entah bagaimana caranya dia bisa nyampe sono. Aku tuh, bukannya nggak mau APEL. Waktu itu hujan turun begitu lebatnya disertai petir mengejar-ngejar anak setan. Eh....... dianya malah tambah ribut pake acara berguling-guling kayak Sharone Stone liat cowok ganteng.”
Aku Cuma tersenyum mendengarkan cerita si Kucing yang lagi menggebu-gebu. Kemudian dia melanjutkan.....
“Karena udah nggak tahan dengar meongannya yang bikin malu, akhirnya aku nekad naik ke pohon jambu monyet yang tumbuh tepat di depan rumah itu. Kulihat sih, si do’i pura-pura nggak liat aku datang sebab meongannya semakin menjadi-jadi. Jadi, karena saking gemasnya aku juga ikut mengeong puaanjaaaang banget. Maksudnya sih biar dia juga dengarin jawabanku yang memelas hati lalu berlari cepat ke arahku seperti tayangan film-film India gitu.”
“Lalu.....?” tanyaku cepat sebab kisahnya semakin menarik hatiku yang lara.
“Sialnya, pas aku sudah berjarak 2 kali terkaman sama si dia, aku malah dilemparin pake sendal oleh Bu RT sambul teriak : RIBUT!!!! Yah akhirnya batal deh acara nge-date tengah malam sama do’i. Udah gitu orang-orang semua bangun sebab dikira ada maling jambu sedang beraksi. Ya nasib......ya nasib.”keluh Kucing mengakhiri ceritanya.
“Terus.....?” kejarku penasaran.
“Ya, sejak saat itu aku jadi malu untuk pacaran.”
“Malu sama siapa? Emang Kucing juga bisa malu?”
“Aku malu sama si Tuti anak Ketua RT yang setiap malam bangun untuk shalat Tahajjud mendoakan suaminya yang sedang merantau nyari hidup di Arab nun gersang dan panas.”
“Emang suaminya Tuti kerja apaan?”
“Pengusaha OIL”
“Ah kamu, sok bahasa Inggris mentang-mentang sekarang banyak turis yang cinta fauna”.
“Ya sudah. Lebih baik sekarang kita sama-sama melamun saja sambil mendengarkan desiran suara hujan yang syahdu” ajak si Kucing.
Tiba-tiba ditengah lamunanku yang mulai larut kurang lebih 45 menit, Kucing kembali membuka pertanyaan : “Kamu nggak rindu dengan seseorang, saat hujan begini?”
“Kangen sih kangen, tapi.....” aku ragu untuk mengutarakannya.
“Tapi kenapa? Emangnya dia nggak cinta lagi sama kamu?”
“Bukan itu. Dia pemuda yang baik. Dan lantaran kebaikannya itulah dia memilih meninggalkan aku demi mempertahankan kesucian ikatan cinta dan sumpah setianya yang pernah dia ucapkan di depan penghulu sekitar 2 tahun sebelum kami bertemu.” Jawabku dengan bergetar menahankan sakit hati lantaran teringat tentang harapan yang dia semaikan namun dia abaikan disaat-saat terakhir kami bersama.
“Kenapa kamu tidak menikah saja dengan orang lain? Kan teman-teman mu sudah banyak yang menikah? Kenapa nggak ikutan saja?” Tanya Kucing sok bijaksana.
“Ah dasar kucing millenium, ngerti pernikahan juga. Apa sih sebenarnya yang ingin kamu sampaikan? Jangan memvonis seperti itu dong.”
“Dasar manusia. BEGO dipelihara. Maksudku kenapa kamu tidak bertunangan saja dengan seseorang, berjanji untuk menikah suatu saat kelak, berumah tangga, punya anak keturunan yang shaleh, membangun kehidupan kamu sendiri diatas kebijaksanaan dan tuntunan agama. Kan indah tuh?” Kata Kucing khotbah ringan.
“Nah, kamu sendiri sudah setua ini kenapa juga kamu tidak menikah? Bujangan terus sampai ubanan. Ntar jadi bahan gosip baru kamu tahu rasa.”Canda ku.
“Benar juga sih. Menurut observasiku betina-betina sekitar sini banyak sih yang cantik mirip Jeniffer Lopez...”
“Astaga…., apa kamu bilang?”
“He..he..he..becanda neng.”
“Terus kenapa...?”
“Gimana mau berumah tangga, sedangkan aku belum punya pendapatan tetap. Dan yang pasti aku trauma. Jadi ada semacam beban psikologis gitu..”.
Nih Kucing dulu kuliah dimana sih. Mungkin jebolan fakultas sastra Universitas Kucing Garong kali ya. Dia bicara dengan nada cuek tapi isi bicaranya menusuk perasaanku. Seperti menyindir keberadaanku.
“Dulu aku juga pernah punya pengalaman berumah tangga waktu masih muda. Nikah ala kaum kami, nggak pake mas kawin, Cuma pake ijab-qabul antara kedua belah pihak” kata si Kucing melanjutkan. Aku Cuma termangu-mangu sambil menghabiskan teh manis dan kueku yang mulai dingin. Kemudian Kucing melanjutkan lagi ...
“Waktu bini ku melahirkan, anaknya ada 7. Seperti layaknya jumlah hari, lapisan bumi, lapisan tanah dan jumlah total nyawa kaum kami menurut mitos Yunani kuno. Awalnya sih kami bahagia dengan kehadiran buah hati yang lucu-lucu, namun seminggu kemudian kami berdua mulai merasa kesulitan dengan kehidupan kami. Apalagi waktu itu rumah kami di bawah Pos Hansip. Setiap jam pak Hansip selalu mukul lonceng dengan keras. Hampir tuli kami sekeluarga dibuatnya”.
“Wah kamu punya anak sampai 7 ekor, gimana kasih makannya?” tanyaku dengan heran.
“Itulah petakanya. Pas aku lagi nyuri ikan, aku ketangkap basah pas lagi melintas di bawah jendela kamarnya si Tuti anak Ketua RT. Aku diomelin habis-habisan dan sempat dapat tempung tawar air panas mendidih. BUSYET .....!!! Gara-gara terasi bau ikan asin...eh kebalik, ikan asin bau terasi, aku harus bedrest total di kolong selama 1 bulan. Tugas mencari nafkah dilakoni oleh biniku sementara suaminya sedang sekarat. Eh... baru 4 hari dianya malah mati ketabrak mobil. Akhirnya anak-anakku terlantar, kemudian satu persatu direkrut ke Persatuan Alam Baka. Nah sejak itulah, setiap kali keinginan berumah tangga itu muncul….. aku senantiasa trauma. Seperti ada jeritan lantang arwah bini ku dari masa lalu : “Jangan Kau Duakan Aku…”, katanya.”
Diam-diam aku terharu juga mendengar cerita si Kucing. Jadi binatang koq tragis banget. Sampe-sampe tanpa terasa menitik juga air mataku membayangkan betapa tulusnya perjuangan dan sejatinya kesetiaan mereka masing-masing terhadap tanggung-jawab untuk menghidupi anak-anaknya dengan segala kemampuan yang ada walaupun berujung kepada maut.
Pas kira-kira pukul 02.30 WHTL (Waktu Hujan Tambah Lebat) si Kucing pamit. Alasannya, udah bosan nungguion hujan yang nggak reda juga. Dia memilih melangkahkan kaki dalam lebatnya hujan sambil menyanyikan nostalgia tentang keharuan masa mudanya.
Tinggallah aku sendiri sekarang, melahap dingin yang sepertinya juga siap melahapku. Jadi terbayang pada dia yang paling menawan hatiku dan tiada bandingannya di seluruh jagad pandangan mataku. Aku tersenyum sendiri melihat Kucing yang tengah berpuisi desela-sela deru hujan. Suaranya sangat tidak jelas. Entah menjerit-jerit, entah mengeong.
Sebelum pamit tadi, Kucing sempat menuliskan sesuatu di hatiku. Katanya : Cinta itu tidak harus selalu memiliki dan berdampingan secara fisik. Dengan bantuan sang jarak kamu bisa menjaganya untuk tidak terjerumus dalam pembalasan dendam pasangan hidupnya tanpa harus mengekangnya. Lebih bebas memasuki tiap relung hatinya saat dia terbangun di pelukan pasangan hidupnya, ketimbang terus-menerus berada disampingnya yang notabene itu tak mungkin. Itulah hakikat KEMENANGAN SEJATI.
Tapi terus terang, sampai sekarang aku masih bingung. Ah...dasar kucing eks penangkaran bule-bule Perancis. Bisa aja berfilsafat….

Tidak ada komentar: