Selasa, 08 September 2009

LELAKI SETENGAH SADAR

Gerimis menata kota dengan kesunyian yang lengkapBayang-bayang maut membias di teras rumah yang basahLampu halaman temaram termakan suasanaBatu-batu jalanan pun berbau darahSeorang lelaki tengkurap menahankan luka-lukaSebilah pedang sudah tak lekat lagi di tanganDi bahunya bekas luka membiruBibirnya pecah dihantam kerinduan dan do’aSurat dari kekasih yang digenggamnya basah terendam air hujan dan benaknya penuh dengan per-andai-anOh..hujan yang selalu membawa ceritaTangkaplah resahku lalu bawa pulang ke matanyaLangkahku bukan milikku lagi sekarangKecintan telah mencabik-cabikku sepuasnyaOh … kekasih yang selalu kubayangkanBenamkanlah mataku di pelukanmuSirnakan kengerian dari benakku yang sesakLelaki itu terdiamSeluruh tubuhnya telah sesak oleh dukaGenangan air diatas aspal menyaksikan jiwanya mengendap-endapSedangkan gerimis terus memukau dahan-dahan flamboyan yang lusuhSesaat sebelum MaretOrang-orang lewat didekatnyaMereka mengusung tanduDan kekasihnya telah datang mengakhiri keluh kesahnya, mencium tangannya yang pucatMembelai rambutnya yang basahDalam dekapan kekasihnya, lelaki itupun berdo’a“Tuhan… semoga tak lagi kau buat aku terjaga…”

DI KEDALAMAN MALAM (Dirilis di Sampit, Akhir Februari 2001)

Apriel, kepergianku dulu sudah menyiratkan duka yang memanjang. Kerelaan tiada jua hadir di hatiku meski kupaksakan juga untuk ikhlas dan menerima kodrat-takdir. Dan setelah waktu membuat jarak makin panjang, hanya kedukaan semata yang ada di sela-sela igaku. Tangan-tangan basah memegangi badanku untuk menuju ke arahmu. Aku kehilangan alasan-alasan untuk menujumu. Aku bukan pemilik ragaku sekarang. Aku hanya saksi sejarah.Apriel, dalam masa puluhan hari aku bersamamu hanya kesenangan dan kepuasan yang kita nikmati. Namun sejak tinta pertama tertumpahkan, maka waktu dan jarak semakin kalut saling menabrak menghasilkan panorama keresahan dan perasaan tak menentu. Setiap hari kucari alasan-alasan untuk hadir di tengah kerumunan pandanganmu namun kurasa berjuta memegangi kakiku. Lalu manakala malam menghadirkan selubung kesunyian di angkasa, kucari-cari mimpi-mimpi untuk sekedar memperkuat alasanku untuk bisa tenang. Namun semakin waktu berlalu semakin kurasakan pembagi mimpi itu pergi dengan wajah pucat. Hanya hantu-hantu yang tersenyum ke arahku. Membagi-bagikan taringnya pada anak-anak malam.Apriel, aku melihat busana-busana indah tapi tak kutemukan engkau diantara mereka yang memakainya. Aku juga melihat kain butut menyelimuti kulit yang lapuk namun tak ada bibirmu di antara bibir-bibir mereka yang basah oleh do’a-do’a.Aku sendiri malu mendapati diriku yang tersusun dari kecemasan, trauma dan kerinduan yang merajalela. Aku malu pada Tuhan. Malu pada manusia dan malu pada engkau. Hal-hal besar menyusun pertimbangan-pertimbanganku yang terbatas dan sempit. Aku dimatamu mungkin kehilangan kepedulian. Aku mungkin kau anggap lupa dan egois. Tapi bila kau ikuti arus angin memasuki tempat-tempat dipikiranku maka akan kau dapati kesimpang-siuran. Keberanianku dijarah oleh pengalaman pahit selama pertempuran dan keterbatasan-keterbatasan. Kesialan selalu membuntuti dan siap menyergap.Apriel, bungkamlah mulutmu sekarang lalu berenanglah kedalam aroma kerinduan yang memenuhi udara malam ini. Hantu-hantu tak akan memasuki pintu gerbang ilusi ini. Dengarkanlah desir air mengalir dari teras-teras langit gelap. Mabukkan dirimu dalam cinta yang belum berbalas. Teguklah kelenaan manakala sepi sudah mengunyah semua yang bernama semangat. Bunuhi benci dan lantunkan lagu-lagu cinta diantara tarianmu. Petiklah dawai-dawai gitar dan kecapi yang dulu kuberikan lalu minumlah cawan yang terhidang dengan puas. Biarkan darahmu meluap-luap terbakar rindu yang panas.Apriel, aku hanya memejamkan mataku ketika kubutuh engkau. Lalu kita pun hadir diantara kerumunan air hujan seperti waktu 7 bulan silam.Apriel, dekap aku dalam rengkuhan yang kuat lalu biarkan kumakan mautmu dan mautku. Biarkan kuturuti ilusi menari dalam mimpi-mimpi buat menemukan kembali mentari dalam hatiku. Membujuk fazar untuk membawa kembali harapan-harapan dari bilik-bilik api yang selama ini berkarat oleh darah dan ketakutan.Apriel, tangkaplah gaungku di segenap angkasa dan pandangilah bulan yang meniupkan dingin, lalu nikmati aku dalam jarak pandang terdekat. Apriel….biarkan kudekap damai yang kau pegang.*Lalu langitpun terdiam dan malaikat tundukkan kepala melihat seorang lelaki tersungkur dalam kerinduan yang panjang dan tak pasti.

PANGGILAN GENDER (Dirilis di Sampit tanggal 19 Februari 2001)

Aku ditarik oleh teriakan halus dan panjang seperti angin sejak darah pertama tertumpahkan. Egoisme dan kauvinisme berlomba dan saling mendahului satu sama lain. Berlari menyongsong panggilan itu membuat debaran nyata jantungku dan menambah irisan di hatiku. Aroma kengerian begitu memukau dan ibaratkan candu. Kami yang berlai menyongsong panggilan ini berwajah pucat semuanya.Kami bawa badan-badan kami yang tegap dan gempal.kami bawa roh kami yang tunggal. Kami bawa telinga kami yang tangkas dan mata kami yang menikam. Kami panggul kehormatan di bahu kiri dan akal di bahu kanan. Lalu punggung kami digelayuti bongkahan tanggung jawab berukir dan berwarna keemasan. Kadang ada yang tergopoh. Kadang ada pula yang menjulang langit.Lalu manakala kegelapan mulai membagi rata kesunyian, mata kami tajamkan menusuk seluruh sudut. Mencari pijar. Menenteng was-was. Ragu, cemas, takut adalah bekal keberanian kami yang tidak buta dan tidak pula tuli. Kami berlarian karena kami pemuda. Kami berlompatan karena kami laki-laki. Kami turuti panggilan ini karena jalannya penuh rambu bertuliskan “Khusus Laki-Laki”. Tulisan yang terbuat dari papan takdir dengan pena kodrat berlapiskan emas. Dan manakala malam terasa sangat panjang, kami tinggalkan wanita-wanita kami yang memegang anggur. Yang wajahnya secerah pagi, yang matanya menyalakan api dan bibirnya menerbitkan matahari. Kami mengejar pasti panggilan ini dengan bangga dan dibangakan. Kami lelaki dan para wanita mengalungkan harapan di dada kami. Kami akan berlari terus sampai melewati batas usia. Kami berlarian sebab kami telah berjanji sebelum kami dilahirkan. Kami berlari dengan disaksikan oleh zaman yang berlari beriringan.Manakala angin magis bertiup di sepanjang bulu kuduk, kami rasakan roh kami yang berjingkrak dan nyawa kami yang mendidih. Lalu jiwa kami segera memegang erat rasa takut, gentar, resah dan waspada dengan tangan-tangan perkasa yang dingin. Hanya dengan seteriakan saja, kami sudah berjubel memenuhi panggilan ini dan memadati pentas kehidupan. Manakala panas pagi mulai membawa kabar, kami tengadah diatas dipan memasang telinga pada dinding ilusi…melenakan hati. Di saat kami lelah dan suara biola memainkan perasaan kami, maka para wanita bernyanyi ringan dengan berukir kemerduan dan kesejukan memasuki sela-sela mata dan pori-pori kami sebagai buluh perindu.Kami sudah digariskan untuk berlari, melompat lalu tertidur seperti gelombang dan angin membawa kabar dari dunia ghaib. Kami lahir untuk mendengar dan menuju panggilan ini. Seruan gender yang dahsyat. Barangsiapa berlari maka para wanita akan membanggakannya, lalu kami akan menyulut matahari. Lalu para wanita akan tertidur dalam dekapan kami sambil menceritakan damai dan sukacita. Kami adalah laki-laki. Sudah menjadi tugas kami untuk menyongsong usia tua atau maut yang menanti di ujung jalan sana.