Selasa, 08 September 2009

LELAKI SETENGAH SADAR

Gerimis menata kota dengan kesunyian yang lengkapBayang-bayang maut membias di teras rumah yang basahLampu halaman temaram termakan suasanaBatu-batu jalanan pun berbau darahSeorang lelaki tengkurap menahankan luka-lukaSebilah pedang sudah tak lekat lagi di tanganDi bahunya bekas luka membiruBibirnya pecah dihantam kerinduan dan do’aSurat dari kekasih yang digenggamnya basah terendam air hujan dan benaknya penuh dengan per-andai-anOh..hujan yang selalu membawa ceritaTangkaplah resahku lalu bawa pulang ke matanyaLangkahku bukan milikku lagi sekarangKecintan telah mencabik-cabikku sepuasnyaOh … kekasih yang selalu kubayangkanBenamkanlah mataku di pelukanmuSirnakan kengerian dari benakku yang sesakLelaki itu terdiamSeluruh tubuhnya telah sesak oleh dukaGenangan air diatas aspal menyaksikan jiwanya mengendap-endapSedangkan gerimis terus memukau dahan-dahan flamboyan yang lusuhSesaat sebelum MaretOrang-orang lewat didekatnyaMereka mengusung tanduDan kekasihnya telah datang mengakhiri keluh kesahnya, mencium tangannya yang pucatMembelai rambutnya yang basahDalam dekapan kekasihnya, lelaki itupun berdo’a“Tuhan… semoga tak lagi kau buat aku terjaga…”

DI KEDALAMAN MALAM (Dirilis di Sampit, Akhir Februari 2001)

Apriel, kepergianku dulu sudah menyiratkan duka yang memanjang. Kerelaan tiada jua hadir di hatiku meski kupaksakan juga untuk ikhlas dan menerima kodrat-takdir. Dan setelah waktu membuat jarak makin panjang, hanya kedukaan semata yang ada di sela-sela igaku. Tangan-tangan basah memegangi badanku untuk menuju ke arahmu. Aku kehilangan alasan-alasan untuk menujumu. Aku bukan pemilik ragaku sekarang. Aku hanya saksi sejarah.Apriel, dalam masa puluhan hari aku bersamamu hanya kesenangan dan kepuasan yang kita nikmati. Namun sejak tinta pertama tertumpahkan, maka waktu dan jarak semakin kalut saling menabrak menghasilkan panorama keresahan dan perasaan tak menentu. Setiap hari kucari alasan-alasan untuk hadir di tengah kerumunan pandanganmu namun kurasa berjuta memegangi kakiku. Lalu manakala malam menghadirkan selubung kesunyian di angkasa, kucari-cari mimpi-mimpi untuk sekedar memperkuat alasanku untuk bisa tenang. Namun semakin waktu berlalu semakin kurasakan pembagi mimpi itu pergi dengan wajah pucat. Hanya hantu-hantu yang tersenyum ke arahku. Membagi-bagikan taringnya pada anak-anak malam.Apriel, aku melihat busana-busana indah tapi tak kutemukan engkau diantara mereka yang memakainya. Aku juga melihat kain butut menyelimuti kulit yang lapuk namun tak ada bibirmu di antara bibir-bibir mereka yang basah oleh do’a-do’a.Aku sendiri malu mendapati diriku yang tersusun dari kecemasan, trauma dan kerinduan yang merajalela. Aku malu pada Tuhan. Malu pada manusia dan malu pada engkau. Hal-hal besar menyusun pertimbangan-pertimbanganku yang terbatas dan sempit. Aku dimatamu mungkin kehilangan kepedulian. Aku mungkin kau anggap lupa dan egois. Tapi bila kau ikuti arus angin memasuki tempat-tempat dipikiranku maka akan kau dapati kesimpang-siuran. Keberanianku dijarah oleh pengalaman pahit selama pertempuran dan keterbatasan-keterbatasan. Kesialan selalu membuntuti dan siap menyergap.Apriel, bungkamlah mulutmu sekarang lalu berenanglah kedalam aroma kerinduan yang memenuhi udara malam ini. Hantu-hantu tak akan memasuki pintu gerbang ilusi ini. Dengarkanlah desir air mengalir dari teras-teras langit gelap. Mabukkan dirimu dalam cinta yang belum berbalas. Teguklah kelenaan manakala sepi sudah mengunyah semua yang bernama semangat. Bunuhi benci dan lantunkan lagu-lagu cinta diantara tarianmu. Petiklah dawai-dawai gitar dan kecapi yang dulu kuberikan lalu minumlah cawan yang terhidang dengan puas. Biarkan darahmu meluap-luap terbakar rindu yang panas.Apriel, aku hanya memejamkan mataku ketika kubutuh engkau. Lalu kita pun hadir diantara kerumunan air hujan seperti waktu 7 bulan silam.Apriel, dekap aku dalam rengkuhan yang kuat lalu biarkan kumakan mautmu dan mautku. Biarkan kuturuti ilusi menari dalam mimpi-mimpi buat menemukan kembali mentari dalam hatiku. Membujuk fazar untuk membawa kembali harapan-harapan dari bilik-bilik api yang selama ini berkarat oleh darah dan ketakutan.Apriel, tangkaplah gaungku di segenap angkasa dan pandangilah bulan yang meniupkan dingin, lalu nikmati aku dalam jarak pandang terdekat. Apriel….biarkan kudekap damai yang kau pegang.*Lalu langitpun terdiam dan malaikat tundukkan kepala melihat seorang lelaki tersungkur dalam kerinduan yang panjang dan tak pasti.

PANGGILAN GENDER (Dirilis di Sampit tanggal 19 Februari 2001)

Aku ditarik oleh teriakan halus dan panjang seperti angin sejak darah pertama tertumpahkan. Egoisme dan kauvinisme berlomba dan saling mendahului satu sama lain. Berlari menyongsong panggilan itu membuat debaran nyata jantungku dan menambah irisan di hatiku. Aroma kengerian begitu memukau dan ibaratkan candu. Kami yang berlai menyongsong panggilan ini berwajah pucat semuanya.Kami bawa badan-badan kami yang tegap dan gempal.kami bawa roh kami yang tunggal. Kami bawa telinga kami yang tangkas dan mata kami yang menikam. Kami panggul kehormatan di bahu kiri dan akal di bahu kanan. Lalu punggung kami digelayuti bongkahan tanggung jawab berukir dan berwarna keemasan. Kadang ada yang tergopoh. Kadang ada pula yang menjulang langit.Lalu manakala kegelapan mulai membagi rata kesunyian, mata kami tajamkan menusuk seluruh sudut. Mencari pijar. Menenteng was-was. Ragu, cemas, takut adalah bekal keberanian kami yang tidak buta dan tidak pula tuli. Kami berlarian karena kami pemuda. Kami berlompatan karena kami laki-laki. Kami turuti panggilan ini karena jalannya penuh rambu bertuliskan “Khusus Laki-Laki”. Tulisan yang terbuat dari papan takdir dengan pena kodrat berlapiskan emas. Dan manakala malam terasa sangat panjang, kami tinggalkan wanita-wanita kami yang memegang anggur. Yang wajahnya secerah pagi, yang matanya menyalakan api dan bibirnya menerbitkan matahari. Kami mengejar pasti panggilan ini dengan bangga dan dibangakan. Kami lelaki dan para wanita mengalungkan harapan di dada kami. Kami akan berlari terus sampai melewati batas usia. Kami berlarian sebab kami telah berjanji sebelum kami dilahirkan. Kami berlari dengan disaksikan oleh zaman yang berlari beriringan.Manakala angin magis bertiup di sepanjang bulu kuduk, kami rasakan roh kami yang berjingkrak dan nyawa kami yang mendidih. Lalu jiwa kami segera memegang erat rasa takut, gentar, resah dan waspada dengan tangan-tangan perkasa yang dingin. Hanya dengan seteriakan saja, kami sudah berjubel memenuhi panggilan ini dan memadati pentas kehidupan. Manakala panas pagi mulai membawa kabar, kami tengadah diatas dipan memasang telinga pada dinding ilusi…melenakan hati. Di saat kami lelah dan suara biola memainkan perasaan kami, maka para wanita bernyanyi ringan dengan berukir kemerduan dan kesejukan memasuki sela-sela mata dan pori-pori kami sebagai buluh perindu.Kami sudah digariskan untuk berlari, melompat lalu tertidur seperti gelombang dan angin membawa kabar dari dunia ghaib. Kami lahir untuk mendengar dan menuju panggilan ini. Seruan gender yang dahsyat. Barangsiapa berlari maka para wanita akan membanggakannya, lalu kami akan menyulut matahari. Lalu para wanita akan tertidur dalam dekapan kami sambil menceritakan damai dan sukacita. Kami adalah laki-laki. Sudah menjadi tugas kami untuk menyongsong usia tua atau maut yang menanti di ujung jalan sana.

Jumat, 17 Juli 2009

RUMPI KALA HUJAN

Hujan selalu punya cerita banyak. Entah itu hujan gerimis, hujan lebat, hujan badai, hujan waktu pagi, hujan waktu siang bahkan hujan waktu malam hari seperti sekarang. Waktu ditunjukkan pada pukul 01.35 WJT (Waktu Jam Tangan, dan dapat dipertanggung-gugatkan).
Beranda rumah basah oleh air hujan yang tak bisa mengalir sebab selokan depan yang buntu. Aku duduk merenung memandang hujan membasahi tanaman yang beberapa minggu terakhir ini sedikit kuabaikan perawatannya sebab aku merawat di tempat lain. Merawat hati-hati yang terluka oleh perlakuan anak zaman ini yang serakah dengan kerakusannya sendiri.
Oh iya.... untuk memperkuat makna akan kuceritakan sedikit background nya kejadian ini. Ada musik live dari adikku yang nomer-3 yang lagi belajar main gitar, menyanyikan lagu-lagunya westlife yang terbaru. Derajat pencahayaan baik dengan adanya penerangan lampu neon 40 watt yang menerangi ruang pertemuan, merangkap ruang perjamuan, merangkap ruangan perenungan sekaligus meditasiku, merangkap ruang ibadah shalat berjamaah bareng seluruh keluarga dan tak ketinggalan fungsinya sebagai ruang hiburan bareng teman-teman. Samar-samar terdengar dialog tokoh-tokoh nasional di TVRI membicarakan tentang pansus bulog-gate, seperti guide-guide politik yang serba tahu semua hal.
Sedangkan aku nih...... ceritanya sedang asyik meditasi dan mengembarakan pikiran dengan ditemani secangkir teh hangat buatan sendiri, sepiring kue buatan ibu dan seekor kucing belang putih kuning setengah baya dengan dandanan dekil (meskipun kalau nggak dimandiin belum tentu nggak dekil), tengah asyik dalam lamunan masing-masing.
Tiba-tiba ditengah keheningan itu, aku mendengar suara lirih... “Hujan memang selalu punya banyak cerita......”.
Aku menoleh seakan tidak percaya oleh pendengaranku dan berkata “Eh,... kucing koq bisa bicara....?”
“Begitulah Bro…., semenjak 2 minggu terakhir aku jadi suka bicara. Mungkin terbawa suasana kali ya?” jawab si Kucing.
“Emang suasana apaan..?”
“Itu...sejak kran demokrasi dan kebebasan bicara di negeri ini dibuka, sekarang banyak yang senang bicara. Nggak kucing, nggak manusia, kalau sudah bicara sampai lupa diri. Contohnya aku, sudah lupa bilang : MEEEEOOOONNNGGG. Keasyikan bicara sih”. Kucing berlagak genit.
“Ah, kamu ini seperti politikus cap kucing kurap saja”, sungutku.
“Hei bung, aku memang kucing. Tapi kutegaskan bahwa aku tidak kurapan. Anda kali yang panuan?” Kucing menjawab ketus dengan nada nggak sopan sama sekali.
H e n i n g.................................................!
“Tapi benar juga apa yang kamu katakan, Cing.” Aku menghibur untuk perdamaian. “Hujan memang selalu punya cerita. Seperti tertulis di alinea pertama kisah ini”.
“Ah, kamu Cuma pengen menghibur” si Kucing melengos sambil menekuk buntutnya menyerupai pancing.
“Betul deh Cing. Saat seperti ini aku jadi teringat sama pemuda yang pernah kucintai dulu. Aku jatuh cinta saat liat dia kehujanan. Dia PDKT juga pake acara hujan segala. Dia mengutarakan isi hatinya yang putus asa karena dia pun masih mencintai wanita lain,…. juga saat hujan dengan petir yang menggelegar. Kutolak dia lantaran aku tersinggung, eh... dianya malah main hujan-hujanan. Kemudian kami berpisah selama 5 kali musim hujan....” ceritaku panjang lebar.
“Waaah seru juga kisah cintamu. Ternyata kita punya kenangan yang sama terhadap hujan. Hanya saja kisah cintaku agak tragis dan lebih norak lagi ketimbang kamu.” Kata Kucing sambil menerawang.
“Pacarku boleh dibilang sEdEng, sebab kalo lagi kangen ributnya minta maaf...eh...minta ampun, kayak lagi liat donat di pinggir meja. Pernah sekali waktu pas musim kawin dia berteriak memanggil-manggilku dari balkon rumahnya si Tuti anak Ketua RT. Entah bagaimana caranya dia bisa nyampe sono. Aku tuh, bukannya nggak mau APEL. Waktu itu hujan turun begitu lebatnya disertai petir mengejar-ngejar anak setan. Eh....... dianya malah tambah ribut pake acara berguling-guling kayak Sharone Stone liat cowok ganteng.”
Aku Cuma tersenyum mendengarkan cerita si Kucing yang lagi menggebu-gebu. Kemudian dia melanjutkan.....
“Karena udah nggak tahan dengar meongannya yang bikin malu, akhirnya aku nekad naik ke pohon jambu monyet yang tumbuh tepat di depan rumah itu. Kulihat sih, si do’i pura-pura nggak liat aku datang sebab meongannya semakin menjadi-jadi. Jadi, karena saking gemasnya aku juga ikut mengeong puaanjaaaang banget. Maksudnya sih biar dia juga dengarin jawabanku yang memelas hati lalu berlari cepat ke arahku seperti tayangan film-film India gitu.”
“Lalu.....?” tanyaku cepat sebab kisahnya semakin menarik hatiku yang lara.
“Sialnya, pas aku sudah berjarak 2 kali terkaman sama si dia, aku malah dilemparin pake sendal oleh Bu RT sambul teriak : RIBUT!!!! Yah akhirnya batal deh acara nge-date tengah malam sama do’i. Udah gitu orang-orang semua bangun sebab dikira ada maling jambu sedang beraksi. Ya nasib......ya nasib.”keluh Kucing mengakhiri ceritanya.
“Terus.....?” kejarku penasaran.
“Ya, sejak saat itu aku jadi malu untuk pacaran.”
“Malu sama siapa? Emang Kucing juga bisa malu?”
“Aku malu sama si Tuti anak Ketua RT yang setiap malam bangun untuk shalat Tahajjud mendoakan suaminya yang sedang merantau nyari hidup di Arab nun gersang dan panas.”
“Emang suaminya Tuti kerja apaan?”
“Pengusaha OIL”
“Ah kamu, sok bahasa Inggris mentang-mentang sekarang banyak turis yang cinta fauna”.
“Ya sudah. Lebih baik sekarang kita sama-sama melamun saja sambil mendengarkan desiran suara hujan yang syahdu” ajak si Kucing.
Tiba-tiba ditengah lamunanku yang mulai larut kurang lebih 45 menit, Kucing kembali membuka pertanyaan : “Kamu nggak rindu dengan seseorang, saat hujan begini?”
“Kangen sih kangen, tapi.....” aku ragu untuk mengutarakannya.
“Tapi kenapa? Emangnya dia nggak cinta lagi sama kamu?”
“Bukan itu. Dia pemuda yang baik. Dan lantaran kebaikannya itulah dia memilih meninggalkan aku demi mempertahankan kesucian ikatan cinta dan sumpah setianya yang pernah dia ucapkan di depan penghulu sekitar 2 tahun sebelum kami bertemu.” Jawabku dengan bergetar menahankan sakit hati lantaran teringat tentang harapan yang dia semaikan namun dia abaikan disaat-saat terakhir kami bersama.
“Kenapa kamu tidak menikah saja dengan orang lain? Kan teman-teman mu sudah banyak yang menikah? Kenapa nggak ikutan saja?” Tanya Kucing sok bijaksana.
“Ah dasar kucing millenium, ngerti pernikahan juga. Apa sih sebenarnya yang ingin kamu sampaikan? Jangan memvonis seperti itu dong.”
“Dasar manusia. BEGO dipelihara. Maksudku kenapa kamu tidak bertunangan saja dengan seseorang, berjanji untuk menikah suatu saat kelak, berumah tangga, punya anak keturunan yang shaleh, membangun kehidupan kamu sendiri diatas kebijaksanaan dan tuntunan agama. Kan indah tuh?” Kata Kucing khotbah ringan.
“Nah, kamu sendiri sudah setua ini kenapa juga kamu tidak menikah? Bujangan terus sampai ubanan. Ntar jadi bahan gosip baru kamu tahu rasa.”Canda ku.
“Benar juga sih. Menurut observasiku betina-betina sekitar sini banyak sih yang cantik mirip Jeniffer Lopez...”
“Astaga…., apa kamu bilang?”
“He..he..he..becanda neng.”
“Terus kenapa...?”
“Gimana mau berumah tangga, sedangkan aku belum punya pendapatan tetap. Dan yang pasti aku trauma. Jadi ada semacam beban psikologis gitu..”.
Nih Kucing dulu kuliah dimana sih. Mungkin jebolan fakultas sastra Universitas Kucing Garong kali ya. Dia bicara dengan nada cuek tapi isi bicaranya menusuk perasaanku. Seperti menyindir keberadaanku.
“Dulu aku juga pernah punya pengalaman berumah tangga waktu masih muda. Nikah ala kaum kami, nggak pake mas kawin, Cuma pake ijab-qabul antara kedua belah pihak” kata si Kucing melanjutkan. Aku Cuma termangu-mangu sambil menghabiskan teh manis dan kueku yang mulai dingin. Kemudian Kucing melanjutkan lagi ...
“Waktu bini ku melahirkan, anaknya ada 7. Seperti layaknya jumlah hari, lapisan bumi, lapisan tanah dan jumlah total nyawa kaum kami menurut mitos Yunani kuno. Awalnya sih kami bahagia dengan kehadiran buah hati yang lucu-lucu, namun seminggu kemudian kami berdua mulai merasa kesulitan dengan kehidupan kami. Apalagi waktu itu rumah kami di bawah Pos Hansip. Setiap jam pak Hansip selalu mukul lonceng dengan keras. Hampir tuli kami sekeluarga dibuatnya”.
“Wah kamu punya anak sampai 7 ekor, gimana kasih makannya?” tanyaku dengan heran.
“Itulah petakanya. Pas aku lagi nyuri ikan, aku ketangkap basah pas lagi melintas di bawah jendela kamarnya si Tuti anak Ketua RT. Aku diomelin habis-habisan dan sempat dapat tempung tawar air panas mendidih. BUSYET .....!!! Gara-gara terasi bau ikan asin...eh kebalik, ikan asin bau terasi, aku harus bedrest total di kolong selama 1 bulan. Tugas mencari nafkah dilakoni oleh biniku sementara suaminya sedang sekarat. Eh... baru 4 hari dianya malah mati ketabrak mobil. Akhirnya anak-anakku terlantar, kemudian satu persatu direkrut ke Persatuan Alam Baka. Nah sejak itulah, setiap kali keinginan berumah tangga itu muncul….. aku senantiasa trauma. Seperti ada jeritan lantang arwah bini ku dari masa lalu : “Jangan Kau Duakan Aku…”, katanya.”
Diam-diam aku terharu juga mendengar cerita si Kucing. Jadi binatang koq tragis banget. Sampe-sampe tanpa terasa menitik juga air mataku membayangkan betapa tulusnya perjuangan dan sejatinya kesetiaan mereka masing-masing terhadap tanggung-jawab untuk menghidupi anak-anaknya dengan segala kemampuan yang ada walaupun berujung kepada maut.
Pas kira-kira pukul 02.30 WHTL (Waktu Hujan Tambah Lebat) si Kucing pamit. Alasannya, udah bosan nungguion hujan yang nggak reda juga. Dia memilih melangkahkan kaki dalam lebatnya hujan sambil menyanyikan nostalgia tentang keharuan masa mudanya.
Tinggallah aku sendiri sekarang, melahap dingin yang sepertinya juga siap melahapku. Jadi terbayang pada dia yang paling menawan hatiku dan tiada bandingannya di seluruh jagad pandangan mataku. Aku tersenyum sendiri melihat Kucing yang tengah berpuisi desela-sela deru hujan. Suaranya sangat tidak jelas. Entah menjerit-jerit, entah mengeong.
Sebelum pamit tadi, Kucing sempat menuliskan sesuatu di hatiku. Katanya : Cinta itu tidak harus selalu memiliki dan berdampingan secara fisik. Dengan bantuan sang jarak kamu bisa menjaganya untuk tidak terjerumus dalam pembalasan dendam pasangan hidupnya tanpa harus mengekangnya. Lebih bebas memasuki tiap relung hatinya saat dia terbangun di pelukan pasangan hidupnya, ketimbang terus-menerus berada disampingnya yang notabene itu tak mungkin. Itulah hakikat KEMENANGAN SEJATI.
Tapi terus terang, sampai sekarang aku masih bingung. Ah...dasar kucing eks penangkaran bule-bule Perancis. Bisa aja berfilsafat….

AKU INGIN

Aku ingin bangun di tempat aku jatuhAku ingin mulia di tempat aku dihinaAku ingin dipuji di tempat aku dicemoohAku ingin lakukan yang mereka ragukanAku ingin mati di tempat aku lahirAku ingin isi nagari yang mereka kurasBagi yang punya ide-ide kejam itu...Bagi yang ingin aku pergi dari sini....Aku ingin hidup disiniSebelum bermanfaat bagi orang lain biarlah aku berguna disiniSebelum mendidik generasi lain biarlah kutinggalkan sedikit untuk generasikuAku bukan pahlawanAku hanya lakukan apa yang harus kulakukanDemi diriku............Demi generasiku....................Demi ISLAM ku..................Aku tak punya keberanian berperangAku tak pernah menentang siapa-siapaAku hanya orang dengan pengetahuan sedikitYang kadang juga bisa GELAP MATA

POHON KAMPUS

Aku di tengah kesunyian ini bersama dengan semak belukar kampus yang biasa disebut mereka dengan sebutan pohon. Aku menari dalam kesederhanaan angin musim hujan yang dingin dan membelit seluruh emosiku di dalam keharuan semesta yang dalam. Perdu yang bersuara ditiup angin dingin seperti sebuah cerita tentang tatanan sosial kampus ini yang terkenal dengan sebutan KAMPUS ATAS ANGIN. Aku tidak bercanda dengan semua ini, bahkan semut yang sering merayap ketika perkuliahan dimulai pun akan bersaksi mendukung ku.Pohon kampus selalu menaungi kendaraan yang kugunakan setiap pagi berangkat kesini dari rumah yang pengap dan terselubung di bawah permukaan tanah. Dinginnya Desember membawakan guratan-guratan cerita usang masa silam tentang kejayaan masa mudaku sebelum akhirnya direnggut obat-obatan penenang orang gila. Aku bangga sekarang duduk di tengah nyanyian semarak, guntur dan gerimis Desember. Samar di udara terdengar bunyi halus yang menyentuh telinga jiwaku dan menyapa dengan samar ” Selamat datang mujahid muda yang tak bersenjata”.Aku terkejut sekilas. Dengan kebisuan suasana disini, suara itu menyindir cita-citaku dengan lantang dan membuatku malu untuk mengakuinya. Pohon kampus seketika beranjak dari ketegarannya menjadi bergoyang-goyang diterpa alunan udara yang beku dan membisikkan sindiran lain dengan mengatakan ”Akankah malu orang-orang yang akan menyuarakan perubahan terhadap pemahaman zaman ini mengenai keindahan bisu dan kekuatan diam yang menggetarkan?”.”Kalian salah...” jawabku”Aku hanyalah orang muda dengan impian yang terombang-ambing oleh kebutuhan akan pembuktian kejantanan dan predikatku sebagai lelaki yang menyebabkan pertautanku dengan dunia semakin kuat sementara inspirasi perjuanganku melambung dibawa gagak hitam penghuni belantara jiwa”. Memang tak dapat kuingkari bahwa kebutuhanku atas pengakuan masih sama besar dengan ketakutanku akan kecemburuan Pemilik dari semua yang kita kira nyata ini.Pohon-pohon kampus hanya menggerutu dengan sanggahanku yang mengalir di sela-sela gerimis yang membuat bukit-bukit disini tepekur. Aku mengerti duka mereka akan penindasan yang mereka saksikan dalam tahun-tahun awal gedung-gedung megah ini berdiri. Aku memahami kekecewaan mereka sebab jeritan lantang nurani bangsa pohon yang teracuhkan oleh mereka yang lalu lalang dengan menggerutu tentang kebijakan-kebijakan yang tidak biajaksana.”Kawan, bukankah disini kerajaan akal yang selalu diagungkan oleh mereka yang berasal dari negeri-negeri yang jauh yang akhirnya pulang membawa gelar-gelar kehormatan?” kataku dengan penuh kekhusuan. ”Bukankah penindasan itu adalah bahasa yang kejam dan salah kaprah ketika kita menyebut upaya-upaya orang-orang terhormat disini untuk meluruskan kebengkokan para penduduk sementara yang egois membawa budaya dan kelakuannya sendiri?”. ”Bukankah keseragaman gerak, langkah, perilaku dan pola pikir merupakan tujuan akhir dari setiap pencari kebenaran?”.Hujan semakin lebat mendengar kata-kataku yang meluncur laksana peselancar menunggangi ombak malam. Sepintas aku merasa inilah setidaknya kebenaran yang kupegang teguh hingga aku mampu bertahan disini dengan segala kemampuan yang ada pada tangan dan kakiku. Setidaknya aku termasuk orang-orang yang tidak berleha-leha menghabiskan masa muda dalam candu lagi. Namun tiba-tiba protes pohon-pohon kampus menyerangku dengan bertubi-tubi dan membuatku tergagap dalam kesendirian eksistensiku.”Pantaskah orang yang memanggul gelar kehormatan sebagai penjaga akal mengebiri kebebasan berpikir dan setiap eksperimen dalam rangka pencarian sesuatu yang memudahkan kehidupan mereka sendiri sebagai penuntut pengetahuan abadi yang bersih?”.”Wajarkah ketika setiap hari para pencari selalu ditempeli dengan cap : DICURIGAI yang tertempel pada dahi-dahi mereka, baik tatkala mereka sendiri maupun dalam kelompok?””Lazimkah jika setiap bantahan dari mereka yang mencari kendaraan ruhaninya diterjemahkan sebagai pembangkangan yang bersumber dari apatisme yang menghambat kemajuan?””Apakah eksperimen dan ide-ide luhur hanya dimiliki oleh mereka yang telah menyumbat telinganya sendiri dengan predikat Master, Ahli, Berpengalaman Dengan Para Pendatang Dari Negeri Jauh, atau bahkan predikat : Konsultan saja?””Apakah penawaran dari para kurcaci belantara akal ini hanya diartikan sebagai pemberontakan bahkan respon pertama dari kemalasan dan penggemar plagiat belaka, sedangkan yang mereka mau hanya kemudahan menuangkan ide dan pikiran kreatif mereka kedalam bejana kebudayaan yang sudah lama tidak membanggakan ini?””Boleh-boleh saja para Tuhan Pengetahuan memproklamirkan bahwa aturan yang telah mereka buat dalam perjalanan menuju pijar cahaya Matahari Timur nun pusaka tak terjamah oleh kritikan, protes, penawaran, bujukan bahkan godaan para penjilat. Namun harus diingat bahwa papan sejarah juga mencatat bahwa Guru Besar Zaman dulunya adalah Penyanggah yang hidup dan menggeliat sebagai pemberontak terhadap zamannya yang usang dan melelahkan.””Tidakkah dibuatkan pesawat yang mengendarai udara, kereta api yang meluncur bersama udara siang-malam, kapal yang berlayar dikejar oleh udara panas dan mobil-mobil yang mengotori udara bumi, melainkan untuk kemudahan belaka? Lantas mengapa proses menjadi Panglima Akal ini harus diarahkan ke rimba gelap yang penuh kesukaran dan merangsang kefrustasian pelakunya serta menafikan kemajuan yang telah dicapai abad ini padahal itu bisa dipermudah dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia untuk, sekali lagi : MENCARI KEMUDAHAN HIDUP SEBAGAI MAKHLUK YANG BERKREASI ?””Betapakah alaminya pemberontak kecil itu yang kemana-mana membawa vonis yang diacungkan kepadanya oleh jari jemari licik yang mudah tersinggung ketika status quo-nya terganggu? Betapakah bahagianya mereka ketika segala kemudahan hidup itu mereka nikmati dalam perjuangan menjadi Raja-Raja Pengetahuan yang baru? Betapa kreatifnya mereka sebab pencapaian yang mereka duduki sekarang adalah bukti atas hidup dan bergejolaknya kualitas dari eksistensi mereka sebagai manusia? Betapakah akan bangganya ruhani para pejuang terhadap mereka yang tak pernah puas dan berdiam diri menerima segala kesukaran yang dipasangkan sebagai jebakan dengan dalih perjuangan ini?”Aku terdiam oleh ucapan mereka yang membara penuh dengan semangat kemudaan yang purba. Hati kecilku menerima desakan mereka untuk diiyakan dan diterima sebagai hasil olahan akal budi mereka. ”Tapi, bukankah seorang tentara mesti terus berkubang lumpur dan kelelahan dalam latihannya bahkan dalam masa damai sekalipun agar tidak kehilangan keperkasaannya?” sanggahku, meminta ketegasan pendirian mereka.”Protes yang mereka sampaikan itulah bukti bahwa mereka telah berkarat dalam lumpur medan latihan. Mereka berusaha membuktikan bahwa mereka mampu menembakkan mesiu-mesiu penggebrak ke-zumud-an para Penghulu Ilmu Pengetahuan.””Tantangan yang sejati dan mengasah itu berasal dari realitas kehidupan mereka sebagai pengembara, bukannya diciptakan untuk melemahkan mereka. Dan rintihan terhadap derita itu bukan cengeng melainkan reaksi jiwa yang hidup dan merindukan kemerdekaannya”.”Benar ....” kata hatiku. Dan akupun setuju bahwa kemampuan mereka membuat produk-produk akal dalam menjawab tantangan dari realitas kehidupan mereka sebagai pekerja sekaligus pejuang harus mendapatkan penghargaan yang pasti dan salut. Bukannya malah memaksakan aturan yang notabene tak pernah mampu diwujudkan dalam dunia realitas, baik oleh mereka yang menyerukannya mapun mereka yang diseru sebab, lagi-lagi tidak mengandung unsur ”kemudahan dan keefektifan” sedikitpun. Selalu saja kita terjebak bahwa dunia kependidikan yang kaya dengan ideologi harus diasingkan dari dunia realitas yang penuh dengan kebutuhan akan kemudahan sehingga ketika konsep-konsep itu matang dibuat di kawah kampus yang membara, tetap saja itu merupakan benda asing yang, lagi-lagi : ”Menambah kesukaran semata-mata” terhadap para pekerja.Aku berdiam di tengah basah yang mengepung kaki dan pakaianku yang berbau keringat. Aku letih dan terpaksa membenarkan suara ghaib yang menyodok kebekuan akalku dengan lantang dan penuh tenaga, aku menerima bahwa yang mereka persaksikan dalam waktu yang berlalu merupakan pemandangan yang menyedihkan.Angin tetap saja dengan tegasnya mendendangkan kebekuan yang membelai sukmaku. Kenaifan dari suasana ini membuat tubuh ku gemetar. Keperkasaan dan kehebatanku hilang diterpa nyanyian alam yang syahdu namun berani menyuarakan kebenaran ini. Aku mengaku takluk terhadap pembelaan mereka pada para mujahid yang dengan sungguh-sungguh berusaha memakmurkan dunia jiwa mereka dengan kepuasan hidup dan kemudahan dalam melakukan kegiatan keseharian mereka. Aku malu terhadap mereka yang rela menderita menanggung acungan telunjuk para pencinta status quo dan terfitnah oleh pandangan mata yang jahat. Begitu hebat dan perkasanya mereka sebagai makhluk berakal dan berkeberanian. Sementara aku yang menyukai sebutan pejuang ini, secuilpun tak pernah memiliki keberanian untuk menentang dan menyampaikan apa yang menjadi kebutuhanku. Aku tak berani menjerit ketika mata pedang para serdadu akal itu menggores punggungku tanpa mereka menyadarinya. Aku takut berteriak ketika debu dari hentakan kaki kuda tunggangan mereka mendera mataku dan membuatku tak bisa bernapas. Aku terpaku saja ketika pena-pena pemberontak tinggal patahan-patahan tak bertuan. Dalam kebisuan, pohon-pohon kampus menyampaikan nyanyian kepiluannya seiring matahari yang berlalu pergi meninggalkan jelaganya pada malam yang akan segera memberikan salam. Aku mengerti sekarang kenapa pahlawan negeri ini begitu lekas mati. Begitu cepat tertangkap. Tokoh-tokoh besar yang diagungkan di negeri ini lebih banyak adalah mereka yang berjibaku di penjara atau rumah sakit ketimbang mereka yang mati tertembak di medan laga, karena memang telah menjadi ketetapan budaya bahwa masyarakat ini lebih memihak pada kejadian-kejadian mengesankan yang terpapar di mata mereka yang rapuh. Mereka lebih memilih taat pada aturan penjajah yang tak memiliki nurani dan mencintai kerja-paksa dan sepertinya malah mengharamkan setiap upaya yang mengarah pada kemudahan hidup dan kemudahan dalam mengatur kehidupan secara merdeka. Aku mengerti sekarang kenapa bangsa ini sekarang dipuji dunia usang seberang laut. Mengapa bangsa ini mengagumkan bagi mereka yang durjana. Ya....., karena kami selalu mengekor pada buntut mereka yang melambai. Berkiblat pada tatanan mereka yang rapuh dan mudah goyah. Karena kebanyakan kami disini takut memperjuangkan kemudahan yang mereka sendiri sangat menginginkannya. ADUH.... KASIAN DEH AKU.

INTONASI BANGSAL PUTIH

Disini Palangka Raya, Tahun MacanGerimis tertawa-tawa mengantarkanku menyusuri koridorBangsal penuh bau amis dan najisSemua penghuni lelap, tak hiraukan jarum infus yang sudah berkaratSementara tabung-tabung penyambung nyawa tersandar kaku di sudut ruanganSepertinya udara ini sudah menciut kedinginanSehingga satu hirupan saja harus dibayatr dengan teramat mahal dan susahDi satu sisi dinding Ruangan Perawatan Bedah, Bangsal Pria....Tergantung photo pantai lepas Ujung Pandaran yang perawanDan tergambar dengan jelas aliran udara yang meliukkan pepohonan Dan camar-camar timpang yang dulu sering menggoda nurani dan cinta kuKamar nomor 10,Atas namaku dengan embel-embel RESTRICTED AREALangit-langitnya penuh jelagaDan air hujan selalu menitik diatas kepala tempat tidurkuIkut menyaksikan kilasan sejarah ketika aku mengerang kesakitan, terpuruk dan sekaratKetika periode panjang kehidupanku lebih banyak terisi di dalam kamar sempit iniMeniti waktu di bangsal klimis dan pengap iniMenunggu sembuh peradangan dan infeksi tulang kaki kiriku yang diamputasi 5 bulan yang lalu oleh mereka yang telah lama terbunuh nuraninya di kamar bedahEntah berapa kali operasi lanjutan menelan sesungutkuEntah berapa banyak kawat gigi yang mereka pasang dimulut mereka dari uang kuSekarang........ aku tak kenal lagi air mata, malu, harga diri dan harapanAku pun bahkan bisa berjalan dengan langkah cepat sekarangAku tak butuh lagi kursi roda yang berderik setiap kali aku ingin keluar dari siniAku sekarang bisa tertawa, kawanAku punya kaki, kawanDan aku tak perlu tanah untuk menjejakkan kakiku lagi sebab udara sudah dapat kukendalikan sekarang Kamu tahukan, si buntung yang sering mereka sebut HANTU GENTAYANGAN itu?Mereka hanya berbohong..Sebab setelah kematianku 2 minggu lalu, aku tidak buntung lagi.

PEMBELAAN

Kami berasal dari tempat dimana masyarakatnya tidak menyimpan senjata di belakang punggung atau di balik baju perang. Kami juga adalah kaum yang membuka baju ketika berperang. Watak ksatria itulah yang mendasari sejarah pasukan terjun payung yang dimotori Bapak kami di Tanah kami. Sejarah perjuangan bangsa kami juga tidak banyak tercatat dalam sejarah sebab tidak se NAIF perjuangan di tempat lain yang seringkali pejuangnya tertangkap karena rakyatnya yang tidak tahan dengan penderitaan.Cara kami menikmat hidup seringkali disebut sebagai kemalasan. Teknologi kami yang purba seringkali disebut bagian dari MAGIC. Sikap kami yang polos seringkali diterjemahkan sebagai kebodohan sehingga merangsang semangat para penjajah zaman baru untuk berkeinginan menipu kami.Tapi satu hal yang harus diketahui : KAMI TIDAK MENYUKAI TEROR… Kami lebih mencintai SPORTIVITAS dan SPONTANITAS…Belantara telah mendidik kami untuk hidup dalam harmoni dan keseimbangan. Air sungai telah membentuk raga kami menjadi JANTAN. Sari GAMBUT yang kami cerna menjadikan jiwa kami KECUT jika kami melakukan pengkhianatan terhadap persahabatan. Burung-burung rimba mengajarkan kami untuk bicara tegas dan lugas. Bahasa kami cepat dan bervariasi tapi tidak MUNAFIK. Jika urusan kemakmuran, kami akan keroyok KEBAHAGIAAN itu sampai pagi. Namun jika urusan itu menyangkut perjuangan, perkelahian membela harga diri, jihad, kami lebih memilih untuk menyendiri. sebab kami tidak pernah belajar pada serigala yang berburu berkelompok tetapi justru saling membunuh ketika hidangan telah siap di depan mata akibat serakah.Walet, binatang pembawa RAHMAT, amat mencintai bau tanah tempat dimana kami belajar berjalan. Orang utan yang penuh kasih sayang, lebih mencintai daratan berair dimana kami biasa memancing sambil menikmati keheningan. Tidak adanya kisah perjuangan kemerdekaan yang riuh, karena Bapak-Bapak kami lebih memilih berperang sendiri agar kepala-kepala penjajah yang mereka peroleh menjadi saksi keperkasaan mereka. Silahkan tudingan itu dialamatkan kepada kami… tapi yakinlah : SEJARAH AKAN MEMPERMALUKAN SIAPAPUN YANG MENDZOLIMI KAMI. Epik yang dibawakan para pujangga dan pahatan di dinding-dinding gua akan mematahkan konspirasi terhadap kami. Sejarah akan berjalan, roda hidup akan berputar dan waktu akan menjelaskan semuanya.

PERSAHABATAN ALA SERIGALA

Semua bergerak serentak dalam sebuah kesatuan gerak, mengepung hidangan berjalan yang sudah hampir pasti bakal jadi pereda amukan rasa lapar malam ini... rusa-rusa montok itu hilir mudik di depan mata... sementara para serigala berbinar matanya membayangkan keajaiban yang dihadiahkan Tuhan malam ini... dengan sangat hati-hati sang kepala jagal memberikan sandi dengan tangan agar seluruh serigala bersiap. hening seketika..... semua menyatu dengan alam semesta yang mulai menutup diri dengan selimut kesunyian..Dengan sekali sergap, gerombolan serigala itu sudah berhasil menangkap beberapa mangsa. beberapa RUSA HUTAN yang lugu. yang segera menangis ketika melihat seringai ganas sang penguasa malam ini....Seketika, belantara ini riuh rendah dengan bahana lolongan yang gempita. kegembiraan bercampur baur dengan peluh dan air liur yang tak henti-hentinya menetes. hidangan telah terealisasikan dalam bentuk rusa panggang yang lezat.. khayalan beberapa menit silam telah mengejawantah dalam alam realita. Nikmat..!!!Tetapi justru inilah awal dari sebuah petaka besar. ketika hidangan telah disiapkan. ketika kegembiraan itu tampil dengan mempesona, ketika itulah masing-masing mulai menghitung jasa. Saat itulah, masing-masing serigala mulai saling ingin "tidur dalam kenyang" tanpa melibatkan serigala lain dalam alam kegembiraannya. saat dihadapan hidangan itulah beberapa serigala justru mulai saling berkelahi. dan beberapa menit kemudian : mulai ada yang mati. mulai ada yang terkapa dan berdarah... mulai ada pembunuhan dan kanibalisme di kalangan serigala.Raung kemenangan getarkan rimba.. beberapa ekor serigala terluka. beberapa bangkai ternganga dengan taring yang sudah tak berarti lagi.. Sang Penguasa baru atas meja hidangan malam ini telah hadir. giginya berlumuran darah...kulitnya sobek, dan lehernya meneteskan darah... dengan kebanggaan dikunyahnya onggokan hidangan yang dari tadi mereka perebutkan. tapi apa daya.. tenaganya telah habis.. glukosa dalam darahnya seketika menipis akibat aktifitas adrenalin yang berlebihan. ia terkapar karena lelah, sementara darah terus membasahi tempatnya berpijak.Setengah malam berlalu... dan serigala yang menang tadi sudah terlelap dalam kelelahannya.. bangkai sesamanya yang mati menjadi alas bersandar kepalanya yang berdarah... Nyanyian burung hantu menceritakan peristiwa brutal sekelompok serigala malam.. banya pembicaraan tentang gerombolan ini. mereka bilang gerombolan ini mencekam, begitu mengerikan, hebat dan tidak pernah gagal. tetapi semut-semut yang mendapat berkah malam ini justru menyaksikan fenomena yang berbeda. mereka tak lebih sekedar hanya serigala ompong. mereka bekerjasama ketika mengepung mangsa, tapi ketika hidangan telah ada mereka justru saling menjagal. Peluhku membasahi kening. kengerian tentang sepak terjang para serigala ini mulai memudar dalam benakku...hatiku berbisik : kadangkala serangan justru datang dari sudut yang tak terduga...

SEMBILU

rembulan membagikan selimut dingin kepada seluruh penghuni padang gelap ini... Kilauan pantulan cahayanya di air menandakan suasana yang membawa romansa masa muda.... namun dipojok jiwa terdalam seorang lelaki muda yang sedari tadi bersandar pada batu gunung, suasana tidak sama seperti alam realitas...dengan terbata, bibirnya terus-menerus menyebutkan sebuah nama... seolah panggilan lemah seorang budak yang memohon pengampunan setelah bertubi-2 didera siksaan.nama yang dibisikkan oleh bibirnya samar-2 terbawa oleh sapuan angin dingin yang membahana.cinta yang begitu besar terlihat jelas pada tatapan matanya yang tajam memandang suasana...lelaki itu, yang biasa dipanggil "penantang arus" oleh kalangan intelektual, kini seolah kehilangan kejantanannya dan terkulai layu oleh sesuatu yang membahana di dalam samudera jiwanya..... tetapi tatapan mata itu, yang biasa berkilat ketika kaumnya direndahkan, tetap tegar menahan perih dilubuk hatinya...dalam alam bawah sadarnya, menari seorang perempuan cantik yang beberapa hari terakhir berhasil membangunkan dirinya dari cita-cita semu. Dara manis yang sering memandang langsung ke pupil mata lelaki itu begitu cantik.. sehingga sulit dienyahkan dari ruang hatinya yang memang membutuhkan kasih sayang..saat angin kembali membawakan hawa dingin ke tubuh lelaki itu, tiba-2 seberkas cahaya datang.....lalu lelaki itu menghentikan ucapannya tentang keluhan cintanya...cahaya itu mempesona....kemudian dari dalam kilauan putih menyilaukan itu, menjulur tangan mungil menyentuh pipinya...dengan terisak, lelaki itu melepaskan semua dukacita bathinnya yang membahana...tubuhnya terguncang dalam tangisan tak bersuara...kelaki-lakiannya menantang semburan kerinduannya terhadap air mata...dimensi hidupnya yang rumit memaksanya untuk mengucapkan kata-kata kesedihan....oh.. betapa hebat cinta itu menggerogoti seluruh keperkasaan sang lelaki penantang arus zaman....oh.. betapa hebat getaran itu menggoyangkan tiang hatinya...dalam sekejap mata.... cahaya itu menghilang...dan tangan hangat yang mampu menyegarkan jiwa itu pun tinggal kenangan saja..anjing melolong menandakan suasana yang teramat mencekam..lelaki itu terperangah dengan dirinya sendiri...betapa lemah jiwanya..betapa rapuh dirinya......dengan mengucapkan nama sang dara, lelaki itu menanggalkan seluruh ego yang membelenggu kekuatan sejatinya..dengan berlari, dijauhinya keinginan hatinya....dalam terengah ia ucapkan baris-baris syair :"Cinta tak harus memiliki.. dengan perpisahan aku lebih bebas memasuki setiap relung jiwanya tanpa takut melukai pasangan jiwanya"...